Review JoJo Stone Ocean: Memenuhi Ekspektasi

Desember lalu, anime JoJo’s Bizarre Adventure Part 6: Stone Ocean resmi tamat dalam cour ketiganya. Ditayangkan eksklusif di Netflix alih-alih di televisi seperti pendahulunya, Stone Ocean tetap mendapatkan perhatian dan atensi cukup ramai.

Meski tidak setenar Golden Wind, Stone Ocean tetap memiliki keunikan dan gaya khas JoJo yang absurd dan menegangkan.

Key Visual (via anitrendz)

Total penayangannya adalah 39 episode yang dibagi menjadi tiga cour sejak Desember 2021. Stone Ocean diadaptasi oleh David Production — sang pawang JoJo sejak saga Phantom Blood (2012) — dan disutradarai oleh Suzuki Kenichi yang kebetulan sudah pernah menangani Phantom Blood-Battle Tendency (2012) dan Stardust Crusaders (2014-2015).

Cerita: Melodrama Klasik Hadir Kembali

Kalau kita merunut akar konflik lakon ciptaan Araki-sensei ini, semua berawal dari perseteruan Keturunan Joestar dan Kujoh dengan Dio dan anak buahnya. Stone Ocean pun demikian, walau dikemas dalam tema baru yang lebih berbeda dibanding prekuelnya.

Cerita dimulai dengan cukup dramatis. Jolyne Kujoh — putri semata wayang Jotaro Kujoh — dijebak atas tuduhan pembunuhan tabrak lari dan dikirim ke penjara.

Sebuah prolog yang kontras jika dibandingkan dengan Diamond is Unbreakable (2016) dan Golden Wind (2018) yang lebih ‘santai’. Ditambah tokoh utama adalah seorang gadis yang menambah impresi tragedi untuk seri ini.

Jolyne Kujoh
(©David Production, Warner Bros Japan, Netflix)

Bertahan dengan kerasnya lingkungan penjara, menerima perlakuan buruk dari teman satu sel, sampai berjibaku dengan hal-hal misterius yang berujung pada lahirnya kekuatan stand milik Jolyne — Stone Free.

Bisa dibilang cour pertama Stone Ocean berjalan lumayan cepat dan penuh aksi pertarungan. Tentu ini sangat memanjakan penggemarnya, tetapi bagi para penonton baru tampaknya akan kesulitan untuk mencerna beberapa hal teknis seperti stand hingga konflik yang dihadapi Keluarga Joestar.

Cour kedua berjalan lebih lambat, sebab memberikan ruang untuk pengembangan karakter sidekicks Jolyne yakni Ermes Costello dan F.F.

Selain itu, screentime lebih diberikan kepada tokoh lainnya yakni Anasui Narciso, Weather Report, Emporio Alnino, dan Enrico Pucci si antagonis.

Cour terakhir adalah klimaks yang ditangani dengan sangat baik. Penceritaan yang lebih cepat tetapi masih dalam taraf yang wajar.

Beberapa cerita mengenai masa lalu juga diselipkan dengan rapih, meski agak terburu-buru ketika mendekati 2/3 cour.

Lalu, semua ditutup oleh akhir yang epik dan loyal kepada manga aslinya, walau sebenarnya ada ruang untuk improvisasi seperti penambahan cameo atau cerita tambahan tentang para tokoh sebelumnya.

Secara keseluruhan, aspek cerita diadaptasi dengan cukup baik. Pertarungan khas-nya yang taktikal tetap ada, momen janggal dan absurd, hingga pose epiknya pas.

Animasi Khas

Satu aspek yang jadi identitas JoJo adalah artstyle-nya yang khas. David Production — seperti yang biasa dilakukannya di seri dahulu — berhasil mengkonversikannya dalam bentuk animasi yang memanjakan.

Artstyle Araki memang agak rumit dan kompleks, sehingga menyebabkan beberapa adegan terasa kaku dan terlihat seperti panel manga yang ditempel masuk dalam layar 16:9.

Meski begitu, tingkat kakunya masih dapat ditolerir dan sangat minim jumlahnya. Sebelum kamu menyadarinya, kamu akan terbuai duluan oleh transisi animasi dan pewarnaan yang berani di setiap adegannya.

Pewarnaan kontras khas JoJo
(©David Production, Warner Bros Japan, Netflix)

Jangan lupakan juga animasi pembukanya yang — secara mengejutkan — kembali ke dalam format 3D. Studio Kamikaze Douga kembali memberikan animasi pembuka 3D di seri JoJo.

Stardust Crusaders jadi yang terakhir mendapatkan pembuka 3D, yang mana dua seri berikutnya mendapatkan animasi 2D pada pembuka.

Apakah buruk? Justru sebaliknya! CGI pembuka JoJo adalah salah satu yang terbaik.

Kekurangannya hanyalah jumlahnya yang hanya dua. Cour 1 dan 2 memakai animasi pembuka yang sama. Baru di cour terakhir yang memakai pembuka lain dan sedikit improvisasi ketika mendekati episode akhir.

Pembuka 3D Stone Ocean dinyanyikan oleh sajou no hana.

Lalu untuk penutup sangat disayangkan hanya memiliki satu animasi. Namun, animasi pantai di bawah senja dalam alunan musik “Distant Dreamer” dari Duffy benar-benar cocok sebagai pemulih setelah melewati episode yang penuh aksi dan konfrontasi.

Musik: Kuat dan Mendayu

Lagu pembuka pertama yang enerjik dari ichigo sudah memberi kesan “strong woman” yang melekat di kisah Jolyne dkk.

Lalu di cour terakhir, sajou no hana membawakan pembuka kedua yang bernuansa lebih melankolis dan sangat mewakili cerita akhir dari Stone Ocean.

Paling mencolok adalah theme song atau background music khusus Jolyne di setiap pertarungan. Alunannya terdengar mirip dengan theme Jotaro, tetapi lebih simfonik dan lembut.

Juga theme song si villain, Enrico Pucci yang — sesuai tradisi villain lainnya — begitu epik ketika ‘surga’ telah digapainya.

Pembuka Stone Ocean dinyanyikan oleh ichigo.

Penempatan musik background dan sound effect stand juga tepat di setiap adegannya. Memberikan pengalaman yang sempurna dalam cerita aksi dan drama dalam Stone Ocean.

Lagu penutup memang hanya satu dari Duffy. Namun, bagi kalian yang menonton sampai akhir akan diberikan kejutan lagi dengan hadirnya lagu Roundabout dari YES — lagu yang menjadi trademark JoJo di kalangan fans maupun penonton anime pada umumnya.

Akting Cemerlang

Akting dan sulih suara patut diacungi jempol. Akting dalam anime JoJo memang tidak mengikuti pakem karakter-karakter anime pada umumnya.

Araki menciptakan sebuah trope tersendiri dan gaya bicara yang berbeda bagi setiap tokohnya, seperti nada keras atau intonasi yang dilebih-lebihkan.

Ini tentu jadi tantangan bagi para pengisi suara. Namun, sepanjang 39 episode, mereka berhasil memeragakannya dengan tokoh masing-masing.

Sang bintang utama, Fairouz Ai, berhasil membayar ekspektasi para penggemar lewat akting luar biasanya sebagai Jolyne.

Pun demikian dengan Seki Tomokazu yang memainkan peran jahat Enrico Pucci dengan ciamik. Pengisi suara Gilgamesh ini menghidupkan karakter Pucci yang misterius dan ambisius.

Pengucapan nama stand yang berulang kali tidak memberikan kebosanan. Justru, semakin menambah ketegangan dan memacu adrenalin penonton melihat perjuangan dan adu strategi dalam pertarungan.

Ramah Newbie?

Sebagai seri keenam dengan latar berbeda dan penokohan yang baru, mungkin akan membuat kita berpikir bahwa Stone Ocean bisa langsung dinikmati tanpa menonton seri-seri sebelumnya. Sayangnya tidak, bagi para penonton baru mungkin tetap akan kesulitan mengikuti ceritanya.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, selain dengan dunia stand yang hanya sedikit dijelaskan dalam Stone Ocean, pengenalan konflik Keluarga Joestar dengan Dio mungkin akan terasa kurang bagi penonton baru.

Perseteruan keduanya memuncak sejak seri ketiga (Stardust Crusaders), walaupun akarnya bisa ditelusuri dari seri pertama yaitu Phantom Blood , sekaligus untuk lebih mengenal sosok Dio.

Bisa dibilang Stone Ocean adalah sekuel langsung dari Stardust Crusaders. Namun, untuk menyelami teknis dari kekuatan stand lebih dalam, kamu dianjurkan untuk menonton seri keempat (Diamond is Unbreakable) dan seri kelima (Golden Wind).

Bahkan, jika kamu bertemu penggemar berat JoJo, kamu juga akan diminta menonton seri kedua (Battle Tendency) untuk melengkapkan pengalaman menonton JoJo.

Mereka akan berkata, “Jangan jadi part skipper! Tonton semua kalau bisa hehe.”

Ya kembali ke kesibukan masing-masing sih. Jika ingin langsung menyicip Stone Ocean, monggo. Jika ingin mulai dari seri pertama dulu, juga tidak masalah.

Penilaian

Secara keseluruhan, Stone Ocean dapat dikatakan sebagai adaptasi anime yang berhasil. Ini sangat direkomendasikan, baik dari segi cerita, animasi, sampai akting sulih suara.

Goodbye JoJo
(Credit: David Production, Warner Bros Japan, Netflix)
JoJo's Bizarre Adventure Part 6: Stone Ocean (2021)
Adaptasi yang mulus dari David Production, sekaligus membuktikan kalau mereka memang layak dijuluki sebagai "pawangnya JoJo".
9
dari 10

Satu-satunya yang mengecewakan hanyalah penayangannya yang terbagi-bagi dan tidak tayang dalam format tv, sehingga hype yang ditimbulkannya sangat kurang dibandingkan pendahulunya. Namun, sebuah anime yang bagus tidak melulu ramai dibicarakan bukan?

Sampai di sini dulu ulasannya, dan terima kasih sudah membaca, Kyuugo-tachi!

Referensi: Situs Resmi JoJo Stone Ocean, MyAnimeList, anidb.